Sunday, August 8, 2010

Mimpi Vs Impian

Seorang sahabat sempat bertanya pada saya apakah menurut saya mimpi dan impian itu dua hal yang sama. Saya, pada saat itu, menjawab bahwa ya itu adalah dua hal yang sama. Tapi dia punya jawaban lain, yang ternyata benar juga menurut saya. Mimpi itu lebih kepada lamunan, sedangkan impian lebih adil kalau disamakan dengan cita-cita.

Berawal dari family little trip di sekitar Jawa Tengah, saya mulai menyadari betapa masyarakat elemen bawah Indonesia sepertinya sangatlah rentan. Perjalanan yang saya lalui bersama keluarga itu mengantar saya kepada kurang lebih empat sampai lima pom bensin, dan dari kesemuanya, tidak satu pun menyediakan sumber daya manusia berwajah sumringah. Bahkan di salah satu kota, kendaraan kami sama sekali tidak mendapat pelayanan apa pun, para petugas hanya duduk-duduk santai sembari menatap kendaraan kami yang sudah berhenti selama beberapa menit, sampai akhirnya kami memutuskan untuk pergi mencari pom bensin yang lain. Pun begitu ketika kami kehabisan persediaan air dan memutuskan untuk mampir di warung di tepi jalan, tidak ada keramahan – yang selama ini dibanggakan sebagai salah satu kebudayaan masyarakat Indonesia – yang ditawarkan. Obrolan di mobil pun menjadi seru, mengupas fenomena yang tanpa sengaja kami temukan.

Menurut pendapat saya sendiri, masyarakat Indonesia pada golongan tertentu, dalam hal ini menengah ke bawah, cenderung takut untuk bermimpi. Sesuatu yang untuk sebagian orang adalah impian, sesuatu yang dicita-citakan dan artinya bisa dicapai dengan usaha tertentu, masih merupakan mimpi untuk sebagian yang lain. Tapi bahkan untuk sebuah mimpi, yang tidak perlu punya masa depan; tidak perlu berkelanjutan; tidak memerlukan usaha tertentu karena tidak harus dicapai, kelompok tersebut merasa tidak berhak. Sukses. Untuk sebagian orang itu merupakan keharusan yang diimpikan, tapi sebagian yang lain bahkan tidak berani membayangkan. Mungkin itu menjawab mengapa untuk sebagian orang menjadi petugas pom bensin saja cukup, dan oleh karenanya tidak perlu melakukan pekerjaan tersebut dengan optimal, karena tidak terbersit kondisi-kondisi seperti naik pangkat, naik gaji, dan lain sebagainya.

Rentan dan putus asa. Siapa yang akhirnya bisa dan kemudian mau merangkul mereka?

No comments:

Post a Comment