Awalnya aku kira dunia itu seperti sekolah. Tempat belajar. Identik dengan peraturan dan ulangan. Sayangnya aku bukan remaja tipe belajar, jadi masa-masa ulangan adalah masa-masa menyebalkan. Tapi aku sayang orang tuaku, jadi meskipun menyebalkan aku terpaksa belajar. Sering aku berpikir, apakah aku yang tidak terlalu pintar, atau apakah pelajarannya yang terlalu sulit, yang jelas dunia itu rumit. Sulit. Untuk peraturan? Aku masih bisa terima. Aku penurut. Jadi pada awalnya, seperti halnya sekolah, dunia itu cukup ketat dan mengikat buatku, walaupun juga tetap menyenangkan.
Sampai dunia mengenalkanku pada rasamu.
Sekolah itu runtuh. Dunia seperti tempat penitipan anak-anak sekarang. Kita berdua anak-anaknya. Para orang tua yang menitipkan anak-anaknya karena harus menyibukkan diri dengan pekerjaan adalah orang tua-orang tua kita yang menitipkan kita pada sebuah lembaga penitipan anak, atau dalam hal ini yang menitipkan kita dalam lembaga cinta. Di sana kita tetap belajar, kita jatuh; kita bangun; kita berteman dan saling menjaga; kadang juga bertengkar. Tapi kita bahkan belum mengerti mengenai arti harafiah dari kata “peraturan”. Semua kita aktualisasikan dengan naluri. Setiap ulangan yang kita tempuh pun tidak dinilai secara tertulis, ada kebijakan-kebijakan yang boleh kita terima berupa permakluman-permakluman. Dunia jadi jauh lebih bersahabat.
Caramu tertawa sudah sangat menjelaskan padaku tentang arti terima kasih.
Cara berdoamu memberikan pemahaman padaku makna bersyukur dan berharap.
Manjamu menyadarkanku mengenai kesahajaan, kelugasan sekaligus ketegasan, juga yang paling jelas kentara adalah ketulusan.
Dunia memang tidak menyediakan sejuta waktu untuk kita sempat merasakan semua pengalaman lumpuhnya jatuh, maupun bangganya bangkit, sendiri. Kita cukup bertanya pada Sheila Marcia untuk tahu pahitnya narkoba, atau mungkin sensasi nikmatnya kawin muda. Kita bisa berpaling pada Agnes Monica untuk sebuah kedisiplinan diri. Dan mudah-mudahan mereka bisa bertanya pada kita tentang sederhananya cinta.
Terima kasih untuk menjadikan “kita” ada.
No comments:
Post a Comment