Wednesday, August 29, 2012

Tak hanya hingar. Tak saja bingar.

Dalam diam ku temukan gerlap malam
Dalam debur ku dengar riak ombak
Dalam ria ku bahagia
Dalam hening ku berdamai dengan alam
Kala sepi ku tersenyum
Kala riuh ku mengulum

Tak hanya hingar
Tak saja bingar
Namun juga tenang
Pun jua lengang
Ku lihat rona bahagia
Ku sapa sejuk suasana

Hai malam
Hai bintang
Aku di sini
Terkagum memandang
Kau di sana
Menyapa mengundang

Hai malam
Hai bintang
Aku di sini berdiam
Kau di sana tenggelam
Aku pulang dulu
Sampai jumpa esok lagi

Tuesday, August 28, 2012

Berimajinasi Mimpi

Imajinasi. Satu benda, tak terjamah, tak bernama. Tapi terasa begitu benar, begitu nyata. Imajinasi bisa jadi apa saja. Imajinasiku, imajinasimu, imajinasi mereka. Semua tak perlu sama. Ada manusia yang tak paham dengan imajinasi manusia lainnya. Bahkan ada yang belum paham dengan imajinasinya sendiri. Lalu ada juga manusia yang entah bagaimana bisa membantu manusia lainnya untuk melihat imajinasi mereka menjadi lebih dekat. Seorang pendongeng melihat mimpinya melalui ilustrasi seorang pelukis. Seorang perancang melihatnya melalui tangan seorang penjahit. Dan mungkin aku dan mimpiku melalui kamu.

Penari, pelukis, pemikir, penemu dan semua penghasil seni dan karya lainnya adalah bukti nyata bahwa mimpi itu ada. Bukti bahwa bermimpi itu bukan sia-sia. Mungkin aku tak pernah tahu rasanya dikekang menjadi seseorang. Rasanya dilarang untuk menjadi penulis, aku tak pernah tahu. Tapi aku jamin, minimal rasanya akan seperti punya tangan lalu dipelintir ke arah yang tak beraturan, atau lebih dari itu.

Setiap orang pasti punya sesuatu yang mereka percayai. Setiap orang juga pasti punya sesuatu untuk dicintai. Para penari pada gerakan, pelukis pada coretan, penulis pada guratan, penemu pada ilmu pengetahuan dan mungkin seorang ekonom pada sistem keuangan. Mereka dengan masing-masing hal yang mereka impikan. Mereka berkhayal bahwa suatu saat nanti orang lain akan turut percaya pada hal yang mereka citakan. Bahwa orang lain akan turut menyaksikan keindahan yang mereka lihat dari hal yang mereka cintakan. Dari situlah mereka mendapat kekuatan dan keberanian untuk memperjuangkan hal yang mereka bela. Hal yang mereka pikir mereka sungguh bagus dalam melakukannya.

Seberapa pun kita berusaha mengingkari, kita tidak akan pernah bisa lari jauh dari diri sendiri. Kita tetaplah kita. Kita adalah kita. Pada akhirnya kita akan tahu bahwa realita tidak seharusnya membunuh mimpi. Karna realita tak mungkin membunuh kita. Dan mimpi itulah kita. Kita adalah mimpi itu. Seorang penari bukanlah penari tanpa impiannya untuk bergerak, meloncat dan menari. Seorang pelukis bukanlah pelukis tanpa mimpinya untuk menuang cat dalam warna. Seorang penulis tak akan sampai pada tujuannya menjadi penulis tanpa khayalan dan puisi-puisi malamnya. Maka realita benar-benar tak seharusnya membunuh mimpi. Kita semua harus menemukan cara untuk membuat mimpi suatu saat menjadi realita. Mimpi menjadi nyata.

Di saat semua terasa begitu berat dan melambat, Tuhan akan mempertemukan kita dengan mata yang lain. Pendongeng melalui mata seorang pelukis. Penulis melalui alunan nada para musisi. Dan aku melalui kamu. Maka topik seputar mimpi tak kan pernah habis dibahas asa. Karna akan terus ada seorang penari yang akhirnya menjadi penari. Seorang pelukis yang menjadi pelukis. Dan mimpiku terasa lebih dekat. Begitu benar. Mimpi menjadi nyata.

Thursday, August 23, 2012

Parent's Ownership

As cliche as it will sound, i would just say that when you are finally getting sick, you just will appreciate more of your health. That's what i feel recently. Because when i was sick the other days, i missed out many things. I missed hanging out with colleagues, friends and family. I was not able to say many things because of my condition and also the mood swing. I barely couldn't even tweet that Adam Levine is a genius to write such songs in Maroon's new album: Overexposed. But then, right after i was in the mood of talking again, i woke up my body and wrote down my mind.

I had time to think about parental-hood we have here in Indonesia or maybe Asia versus parenting method they have there at the west side of the globe. I was wondering why in here, the feeling of ownership from parents to their children are so big. Sometimes i feel that as children we are like belong to our parents, while in my opinion when a child was born, he/she is already a human, a pure independent human who is belong only to his/herself. A parent should only be a facilitator. A parent is just another human being, not an owner. A parent is a helper. Is a guider, an angel yes, because they are a truly kind persons who are willing to do anything to make us children happy. But still, not an owner. An Asian mom no need to necessarily picked out a dress for her 19 years daughter or a spectacle frame for her 23 years daughter. There's no such thing as a reason for those kind of things to be worth to fight about. It's not like picking a university or something. It's a frame and skirt!

It makes me think how different eastern and western are. In everything. In how we think, how we act, how we spend times. Recently i just knew from my friend who was just back from his secondment at Adelaide that his clients there consider auditor as a friend. Somebody their company paid to make their company a better place. So they don't need to hide some weaknesses or findings. Meanwhile, here, people think that auditors are bunch of people they should hide their company's flaws from. So basically we are paid to do nothing since they hide 'em. Amin to that. Free lunch it is.

So i keep on thinking about the very first person who lived at east and who stayed at west. What did they do exactly to make such a difference? Did the landscape here was more harmful that the people should protect their children with more caution and end up with all the over-protective action? Because as we know, American teenagers are forced to leave home by their parents once they hit 16. And i guess they can plan their marriage in all kind of concept they prefer, whether they want it small, big, in the ballroom or outside the structure.

So why? Give me an answer for God's sake..

Friday, August 10, 2012

TO THE BEACH


Kebudayaan Bali

Baru-baru ini gw ke Bali, like i said before, setiap perjalanan pasti akan memberikan sesuatu. Kali ini gw melihat betapa indahnya Bali dari sudut kebudayaannya. Bagaimana di setiap sudut-sudut kota ada sesaji yang diletakkan di jalanan, di atas meja, bahkan di dalam mobil, setelah sebelumnya disembayangi terlebih dahulu. It somehow touches me. The way they put it on every little pieces of their place and maybe their heart. The way they love their God is the same with the way we love our boyfriend or girlfriend and saying i love you instead of loving and didn't say anything. Bali oh Bali, never get enough of you.

Thursday, August 9, 2012

pacarpacaran

Hallo! It's August already, can't imagine that 2012 is almost over in next four months, oh how time flies.. Anyway, how's life, folks? My life is still beautiful, beautiful like it always does. Recently i have this topic about a thing that i want to share with you guys.

Sometimes when you do something, or anything, do you know the objective of what you do? Or sometimes you just do it because everybody does it? And you just do something that way because everybody does it that way? Let's go to examples (and i will write further in Bahasa Indonesia just to make it more understandable for Indonesian people since maybe the topic is more relevant for them).

1. OSPEK
Mungkin banyak dari kita yang pernah, akan atau sedang menjadi panitia dari acara Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau yang secara lebih singkat dikenal dengan OSPEK. Pertanyaan dari gw cuma satu, apa sih sebenarnya tujuan panitia ketika mengadakan acara ini? Sebagian besar orang dari kepanitiaan universitas mana pun akan menjawab: untuk melatih mahasiswa baru agar tidak kurang ajar dengan angkatan atasnya dan hal-hal lain seputar moralitas. Pendapat gw, mungkin kalau ospek di fakultas teknik yang notabene terkenal cukup keras dan diadakan dalam jangka waktu yang lama, tujuan tersebut dapat tercapai, namun untuk fakultas-fakultas seperti ekonomi misalnya, apakah aktivitas ini relevan untuk mencapai tujuan yang ada? Well, untuk merubah moralitas seorang anak manusia, terkadang orang tua kita yang sudah bertahun-tahun hidup bersama saja tidak bisa, apalagi hanya dengan 1 minggu masa OSPEK. Gw sebenernya bukan orang yang anti dengan kegiatan ini, yang tidak gw sepakati hanyalah kalau kegiatan ini cuma dijadikan ajang tahunan yang pointless, cuma diadakan karena setiap tahun ada. Apalagi kalau sampai jadi ajang senang-senang buat angkatan atas karena punya kesempatan untuk memarahi mahasiswa baru, atau mungkin sekedar punya kesempatan untuk keluar dari kelas untuk mengurus acara ini.

2. Part di mana kita dipaksakan tinggal sekamar dengan kenalan yang tidak terlalu kita kenal saat ada acara tahunan kantor atau kampus (khusus untuk mahasiswa tingkat atas)
Untuk hal yang satu ini, gw juga sedikit bingung tentang objektif yang ingin dicapai. Sebagian orang pasti secara refleks akan menjawab: untuk mengakrabkan satu sama lain. Well, menurut gw di usia-usia tertentu hal-hal seperti itu sudah tidak bisa lagi untuk dipaksakan. Inisiatif untuk mau bersosialisasi tidak hanya dengan kawan yang kita sudah akrab adalah sudah menjadi hak sekaligus kewajiban masing-masing. Terutama untuk perempuan, hal tersebut cukup mengganggu. By default, perempuan terlahir untuk berkelompok. Itu mengapa perempuan bergosip, arisan dan nge-geng. Satu-dua-hari ditidurkan bersama dengan kenalan yang kita hanya senyum saat berpapasan ngga akan bisa membuat kita ngga balik ke geng kita lalu jalan bersama kawan tidur itu selama acara kantor atau kampus itu berlangsung. Yang didapat hanyalah awkward moment di malam hari, di saat di mana seharusnya kita semua bersenang-senang dan hanya bersenang-senang. Untuk usia-usia tertentu hal tersebut memang masih bisa diatur, kita masih bisa dirangsang untuk mau bersosialisasi dengan lingkungan lain, tapi at certain age hal itu sudah harus jadi kesadaran diri sendiri. Ngga harus dengan cara itu, orang-orang yang memang punya inisiatif cukup tinggi akan tetap kenal dengan berbagai komunitas di lingkungan kantor atau kampusnya. Again, gw ngga against ide ini, tapi gw cuma ngga mau kalau hal tersebut dijalankan seperti itu hanya karena setiap tahun dijalankan seperti itu.

3. Pacaran
Here it is the main focus. No judging, but this is the fact and this is my opinion. Banyak orang ketika pacaran membatasi pasangannya untuk melakukan hal ini, hal itu, untuk bertemu si ini, si itu. So then what's the point of the pacaran itself? I mean, bukannya tujuannya pacaran itu untuk menemukan orang terbaik yang mudah-mudahan akan jadi kandidat terbaik untuk jadi pasangan seumur hidup kita? Kalau saat pacaran kita dilarang untuk bertemu dengan banyak orang lain yang berlawanan jenis dengan kita, ya udah sekalian aja nikah langsung sama pacar kita itu toh kita ngga akan bisa dapetin orang lain juga since we are forbidden even only to meet someone else.

Kalau dengan pacaran kita diubah menjadi orang lain atau mengubah pasangan kita menjadi orang lain which is hard, lalu kenapa kita ngga take some times buat nemuin orang lain yang kita pingin itu instead of mempertahankan pasangan karena kita terlalu takut untuk keluar dari kebiasaan bersama pasangan dan lalu trying so hard untuk mengubah dan membatasi satu sama lain?

4. Kumpul kebo
Terus gimana dengan yang satu ini? Topik ini sebenernya udah pernah gw tulis di tulisan sebelumnya dengan judul "Moving-In". Singkat aja, kenapa sih kumpul kebo dilarang di sini? At the first place kenapa sih harus dikasih nama kumpul kebo? Dari namanya aja kita udah bisa tau kalau hal ini seolah-olah adalah hal yang negatif, padahal kalau di luar negeri sebenernya kan ini cuma as simple as moving-in step before somebody get married and moving in together for good. Padahal banyak yang bisa didapat dari aktivitas ini, eh malah dilarang kalo yang kayak gini. Trust me, pacaran doang ngga akan cukup untuk bisa mengenal pasangan kita. Dalam pernikahan, tidak hanya permasalahan sifat, prinsip dan sikap yang bisa membawa dampak besar, tapi juga masalah kebiasaan, bahkan 70% adalah masalah kebiasaan. Kebiasaan yang sebelumnya kita tidak tahu tapi setelah tahu ternyata kita tidak bisa menerima. Dari mana kita bisa tahu kebiasaan ini kalo bukan dari tinggal bareng? Well that's the question! Kalo para orang tua mengkhawatirkan anak perempuannya hamil di luar nikah by this activity, well my next question is: selain diperkosa (dan atau dipaksa, diancam, dll), gimana sih caranya seorang laki-laki bisa menghamili pacarnya kalau bukan pacarnya memang mau dan mengijinkan? Jadi jangan salahkan pihak laki-laki untuk kehamilan di luar nikah yang sudah diijinkan oleh pihak perempuan. The benefit is on you two, so does the risk.

Well, that's all for now. Really want to hear from you guys.
Thanks!
Ciao,
Alice.