Kejujuran. Kekalahan. Kesombongan.
Saya bukan pelari-dari-masalah yang handal, bahkan saya cenderung kewalahan untuk tidak memikirkan sesuatu. Atau bisa jadi itu cuma pendapat saya saja, bisa jadi semua remaja atau dewasa seusia saya kepalanya juga dipenuhi dengan berjuta pikiran, yang belum tentu semuanya berguna untuk dipikirkan. Akhir-akhir ini, seiring dengan terjadinya banyak peristiwa –yang tidak bisa saya sebutkan, saya mulai menyadari bahwa ternyata masalahnya ada di saya, semua kesedihan – kekecewaan kebanyakan – hanyalah hasil dari ketidakdewasaan saya sendiri. Ternyata saya pun sampai di tempat ini, arena bagi orang-orang yang kalah. Mungkin selama ini saya terlalu arogan dan kaku terhadap pemikiran-pemikiran saya, yang juga dengan kesombongan saya, saya sebut bijaksana.
Kecewa mengetahui bahwa kemampuan dasar yang seharusnya dimiliki oleh manusia –yang memang pada hakekatnya adalah makhluk yang tidak sempurna, yaitu bisa menerima kelemahan orang lain, ternyata tidak saya miliki. Begitu banyak keluhan atas mereka yang keluar dari mulut nakal saya. Ternyata hati saya tidak jauh lebih luas dari mulut saya, untuk bisa menampung semua keluhan Si Bibir, sampai akhirnya kata-kata keluar berderet-deret darinya.
Saya benci kata ‘seandainya’, karena akan selalu diikuti oleh kata ‘mungkin’. Seperti: “Seandainya saja saya menyadarinya lebih awal, mungkin saya tidak akan seterpuruk ini”. Saya benci memikirkan semua kemungkinan yang bisa timbul, akibat dari pemakaian kata ‘seandainya’. Saya lebih tertarik dengan kata ‘semoga’, karena dia membawa harapan. Harapan itu hidup, harapan itu dinamis. Harapan menjadikan semuanya mungkin, dan semoga saya bisa terus belajar bagaimana cara menerima dengan kerendahan hati.
No comments:
Post a Comment