Seringkali kita, manusia, dihadapkan pada pilihan. Semakin besar, kata kerja “memilih” akan semakin sering digunakan. Yang dipilih pun bukan lagi hal-hal remeh temeh, seperti memilih mau permen rasa apa atau mau pakai baju warna apa, yang menghasilkan konsekuensi yang kecil, yang kalau salah pilih pun resikonya kecil. Menjelang akhir masa SMA, kita mulai diajari hidup untuk memilih jurusan kuliah. Saya pikir, di sini kesulitan memilih itu mulai nampak, kecuali bagi remaja-remaja yang sedari kecil sudah diberkahi dengan bakat khusus yang menonjol. Lalu selama mengais ilmu di universitas, pilihan itu sudah seperti es teh manis saja, ada di mana-mana dan kapan saja. Memilih mata kuliah yang mau diambil tiap semester, apa mau ikut-ikutan saja; atau mau pilih yang mudah-mudah dulu saja; atau mau sekalian cuti kuliah! Berkembang kepada mau pilih kajian apa (disesuaikan dengan program studi penulis, yaitu akuntansi), apa mau pilih yang banyak teman; pilih yang gampang; atau pilih yang dosennya baik (baca: centil, tanpa bermaksud menyinggung siapa pun). Terus berkembang sampai pada mau lulus berapa lama, tiga setengah tahun atau empat tahun (boleh kan sedikit curhat?)!
Dengan memilih kita diajak berpikir, diajak dewasa. Memilih tidak akan menjadi masalah selama kita tahu apa yang sedang kita pilih dan apa resiko dari masing-masing pilihan.
Yang jadi masalah adalah ketika kita salah menafsirkan suatu keadaan, keadaan yang kita anggap sama seperti keadaan-keadaan lain yang membutuhkan pilihan. Banyak orang keliru. Menjadi orang tua itu pilihan. Saya rasa sekarang ini alat kontrasepsi sudah tidak sulit untuk ditemukan. Menjadi orang tua yang baik itu bukan pilihan. Anak itu seperti penonton konser musik live; orang tua itu artisnya. Penonton atau juga pemirsa tidak pernah mau tahu alasan ketidakoptimalan performa artis idolanya di atas panggung, pun begitu, anak lahir tanpa punya hak untuk melakukan pilihan, jadi seharusnya ia berhak untuk tidak mau tahu alasan ketidakoptimalan performa ayah dan ibu idolanya di ranah nyata ini.
Pilihan akan tetap menjadi suatu pilihan ketika kita belum memilih apa-apa, dan belum punya apa-apa atau siapa-siapa yang bisa terkorbankan jika kita terus membuat pilihan-pilihan lain. Sebut saja dirimu pengecut kalau setelah memilih dan rasanya kurang manis, kamu terus-terusan tukar gula-gulamu dengan cokelat.
ehehe..
ReplyDeletekomen dikit yo cik..
mungkin sebenarnya mereka sudah menjadi orang tua yang baik, tapi pandangan anak belum tentu menganggap yang baik itu sebagai baik...
susah juga sih...
kayak kata einstein, kebeneran itu relatif..
gak ada yang mutlak di dunia ini...
manusia yang berbeda memiliki pemahaman "benar" yang berbeda...
dan menjadi orang tua yang baik itu memang bukan pilihan..
tapi juga bukan sebuah keharusan..
mungkin itu bagian dari naluri, kata hati...
(kepengaruh wisok iki...hahahaha..)
emmm... setuju sihh sama yang di atas2.. tapi klo tentang keharusan, klo itu bukan keharusan jadi ga perlu diupayakan dong, tep? sebenernya fokus tulisanku ini bukan di bagian orang tua-orang tua itu sihh, kayaknya orang jadi salah tangkep.. aku juga ga bermaksud sok tahu dan menggurui kog.. intinya, klo udah buat pilihan jalanin aja konsekuensinya, jangan cuma mengeluh klo ternyata pilihan itu salah.. namanya juga manusia, banyak lupa, khilaf, dan salah :)
ReplyDeleteehehe...tenang aje..
ReplyDeletetulisanmu gak berkesan sok tau kok..
emang gpp kale nulis2 gini...
aq ngomen ni ya buat tukar pikiran kok cik..
mo mulae langganan blog mu nih...wkwk..
oya...
mm..
emang bener harus nya itu diupayain..
maksud aq nulis bukan keharusan benere buat negesin kalo ini tu bkn suatu paksaan..tp emang udah sepantasnya...
haha..
mek gak ngerti yo opo cara nulis e..
jadi pengen blajar nulis jg uy..
Haha.. Sipiriliiii.. Ini mulai dari bahasa resmi, gaul, sampe bahasa daerah dahh.. Haha.. Learning by doing aja, sayang.. Coba2 nulis aja, apa pun.. Kayak waktu kamu ada tugas estetika..
ReplyDeleteOO.. Iya iya, ngerti maksudmu :)